Skip to main content

Bersepeda, dari Kintamani ke Banjarangkan

Udara pagi menjelang siang hari itu sangat sejuk. Sinar matahari menyusup melalui celah-celah pepohonan di dalam hutan gigiran Danau Batur. Sepeda mulai saya kayuh menyusuri setapak ke arah barat daya yang makin lama makin menyempit diapit rerumputan dan bebatuan. Kemudian elevasi makin menurun. Kedua tangan pada stang bergetar menahan beban dari laju kecepatan. Tak perlu banyak mengayuh, saya sudah seperti terbang, melesat di bukit yang hijau. Saya hanya fokus pada jalan di depan. Lengah sedikit, bisa saja saya terlempar dan jatuh. Sampai akhirnya saya berhenti di sebuah tempat datar dan cukup luas. Fiuh... Cukup menegangkan juga mengayuh sepeda gunung semi downhill ini. Walaupun baru menempuh jarak sekitar satu kilometer, peluh telah menetes deras dan jantung berdegup cepat.

Titik Start di Tepi Hutan Desa Buahan, Kintamani, Bangli, Bali
Desa Buahan di Kintamani, menjadi titik awal saya bersepeda bersama rekan-rekan dari Hubud dan Komunitas Sepeda Bali di akhir pekan kali ini. Saya, Bagus, Budhi, Alice, Adrean, beserta Ketut dan Wayan Kembar baru mulai mengayuh sepeda menjelang tengah hari setelah melakukan satu jam perjalanan dari Ubud dan sejenak mengisi perut di sebuah restoran di Panelokan sambil melihat keelokan Kaldera Gunung Batur.

Sepeda yang saya pakai kali ini adalah sepeda gunung berjenis trail dengan suspensi yang halus. Helm, sarung tangan, serta pelindung siku dan lutut lengkap saya kenakan. Ini karena jalur perjalanan yang akan ditempuh sebagian besar adalah jalur-jalur jalan setapak di hutan maupun perkebunan penduduk serta jalan-jalan desa di sepanjang Kabupaten Bangli dan Klungkung.

Ada satu hal yang saya tak suka jika melakukan perjalanan bersepeda dalam rombongan seperti ini, yaitu tidak leluasanya saya untuk melihat dan mengamati berbagai hal di sepanjang jalan yang saya lalui. Apalagi jika semua rekan memacu sepedanya cepat-cepat. Alhasil, tak banyak hal detail yang bisa saya lihat di sepanjang perjalanan. Beberapa desa maupun banjar yang saya ingat dan catat saat berhenti beristirahat adalah Desa Buahan, Desa Landih, Banjar Buayang, Banjar Kedui, Banjar Tegalasah, dan Desa Tembuku yang kesemuanya itu berada di dalam wilayah Kabupaten Bangli. Setelah masuk ke wilayah Kabupaten Kungkung, saya melalui Desa Bungbungan, Tohpati, Nyalian, Bakas, Tusan, dan Banjarangkan sebagai titik finish.

Wayan Kembar dan Bagus Berdiskusi tentang Jalur yang Akan Ditempuh


Alice Berfoto dulu Sebelum Memulai Perjalanan
Setelah melakukan briefing, perjalanan pun dimulai. Ketut Kembar menjadi leader sebagai pembuka jalur yang mengetahui rute-rute yang akan dilalui. Di awal perjalanan ini, walaupun titik awalnya berada di dalam kawasan Desa Buahan, tetapi desa ini sendiri tak dilewati secara langsung. Hanya tepian desa dan kawasan hutan pegunungannya yang kami lewati. Selepas hutan, kami mulai memasuki ladang dan perkebunan penduduk. Rumput-rumput pakan ternak sapi tumbuh subur di kanan dan kiri jalan setapak yang dilalui sampai akhirnya memasuki kebun jeruk dan tembus di jalanan desa yang beraspal tapi tak mulus. Udara cukup sejuk di awal musim kemarau tahun ini. Kami berhenti beristirahat di tepian jalan. Pohon-pohon jambu biji tumbuh subur di pagar-pagar kebun. Buah-buahnya yang masak dan ranum bergelantungan menggoda. Bahkan banyak yang bertebaran di bawahnya. Tak ayal,  beberapa buah jambu itu menjadi pengganjal perut kami siang itu. Kalau dibawa pulang, disimpan di kulkas, lumayan bisa dijadikan jus selama seminggu, komentar salah seorang dari kami melihat buah-buah yang matang ini seperti tak ada yang ingin memetik, berjatuhan percuma di tanah dan membusuk.

Menyusuri Kawasan Perkebunan Jeruk

Setelah Desa Buahan, kami memasuki Desa Landih. Ini bisa saya ketahui karena kami melewati kantor desanya. Banyak anak sekolah berseragam setingkat SD lalu lalang. Sepertinya sekolahnya tak jauh dari kantor desa tadi. Dan siang hari begini, tentu adalah jam pulang sekolah mereka. Beberapa dari mereka melambaikan tangan dan berteriak "Halo..." sambil tersenyum ramah dan kami membalasnya. Ada juga dari anak-anak itu yang tak sopan berkata "Mister, minta uangnya". Hhh... Untuk yang terakhir ini, saya pikir tentu karena anggapan anak-anak desa di Bali yang melihat wisatawan dengan cara yang salah. Ya, penampilan kami bersepeda memang seperti wisatawan dan dua dari kami adalah warga negara asing. Kalau anak-anak itu tak malu-malu meminta uang melihat kami, salah siapa?

Di Tepi Jalan Tempat Mampir Melihat Pengrajin Bambu di Banjar Buayang


Mampir Melihat Pengrajin Bambu di Banjar Buayang

Di Desa Landih ini, setelah melalui pusat desa, jalur perjalanan mulai berubah lagi dengan perkebunan penduduk, hutan-hutan bambu yang menghijau, dan berlanjut lagi dengan rumah-rumah penduduk yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Kami berhenti di depan salah satu rumah di Banjar Buayang dan mampir ke sebuah gubuk tempat si empunya rumah menjadikannya bengkel tempat pembuatan benda-benda seni buatan tangan dari bambu. Tak mengherankan jika pernak-pernik dari bambu dihasilkan di sini. Ada banyak pohon bambu tumbuh subur di sepanjang jalan yang kami lalui.

Dari Banjar Buayang, kami menyusuri lagi jalanan desa ke arah selatan sampai akhirnya tiba di rumah Pak Yuli di Banjar Kedui. Pak Yuli adalah adalah seorang mitra Sepeda Bali dalam melakukan kegiatan turing sepeda jika melalui jalur Kintamani menuju Banjarangkan ini. Di depan pintu rumah, sudah terpasang papan keterangan yang menunjukkan bahwa rumah ini adalah pos istirahat Komunitas Sepeda Bali, lengkap dengan pesan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan meminimalisasi sampah plastik. Dan pesan ini bukan hanya slogan semata. Kelapa muda yang menjadi pelepas dahaga kami di rumah ini disajikan dengan sedotan dari batang daun pepaya. Selain kelapa muda yang segar, salak dan manggis yang disajikan di atas alas daun pisang juga terasa sangat manis. Semua makanan tadi menghasilkan sampah organik. Hanya bungkus tissue untuk menyeka mulut saja yang terbuat dari plastik, kata Wayan Kembar sambil tertawa. Buah-buah tadi dipetik langsung dari kebun Pak Yuli. Ya, lahan di sekitar rumah Pak Yuli luas. Saya melihat pohon manggis dan kelapa banyak tumbuh di sini. Bangli, khususnya di Kecamatan Tembuku, kecamatan yang saya lalui ini, adalah daerah yang memang terkenal sebagai penghasil kelapa selain menghasilkan bambu. Banyak pasar, warung, restoran, maupun hotel di Bali mendapatkan pasokan kelapa dari daerah ini, baik buah kelapa muda maupun kelapa yang sudah tua.



Rumah Pak Yuli, Tempat Persinggahant Komunitas Sepeda Bali di Banjar Kedui. Ingat! Tanpa Sampah PlastiC!

Rumah Pak Yuli, Tempat Persinggahan Komunitas Sepeda Bali di Banjar Kedui

Setelah istirahat di rumah Pak Yuli ini, kami berpisah menjadi dua kelompok. Saya bersama Budhi, Bagus, dan Ketut Kembar memutuskan untuk menggunakan jalur bersepeda masuk ke dalam hutan bambu. Sedangkan Alice dan Adrean ditemani oleh Wayan Kembar akan menuju Banjarangkan dengan menyusuri jalan-jalan desa. Dan bagi saya, jalur di hutan bambu inilah yang cukup sulit. Jalurnya becek dan berlumpur. Jalannya yang kecil dengan bambu-bambu yang melintang membuat rintangan semakin banyak dan sulit. Beberapa kali saya terpeleset. Dan beberapa kali pula saya sengaja menuntun sepeda untuk meminimalisasi resiko jatuh.

Di jalur hutan bambu ini, saya melihat bekas-bekas ban motor trail. Kata Ketut Kembar, berbeda dengan para pesepeda yang lebih bisa diterima oleh warga, motor trail dilarang melintas di dalam kawasan hutan di desa ini karena sering membuat bising dan mengganggu. Kalau kata seorang teman, motor trail demen ngae sampi nak rengas, alias membuat sapi-sapi peliharaan warga panik. Mungkin bekas ban trail yang saya lihat ini dibuat oleh mereka yang melanggar larangan warga dan tidak ketahuan. Hmmm...


Jalur yang Licin dan Berlumpur di Hutan Bambu di Banjar Kedui

Di Kawasan Hutan Bambu di Banjar Kedui

Keluar dari jalan setapak kecil hutan bambu yang licin dan basah, jalur akhirnya tembus ke sebuah jalan aspal yang di kiri dan kanannya masih hutan bambu. Jalanan ke selatan sedikit menanjak. Saya mulai ngos-ngosan mengayuh pedal setelah sedari awal menurun terus sampai di tempat ini. Saya tak tahu sampai di mana posisi kami. Sepanjang jalan yang saya lalui setelah hutan bambu adalah tegalan. Kalau pun ada rumah penduduk, kebanyakan saya lihat terletak jauh di dalam, maksudnya rumah-rumah penduduk di kawasan ini memiliki tegalan di mana rumah tinggalnya sendiri berada jauh dari pinggir jalan. Tempat yang saya ingat adalah tempat kami berhenti di pertigaan jalan jaba pura yang bernama Pura Puseh Desa Pekraman / Adat Kedui. Sepatu, betis, celana, dan baju saya terlihat sudah banyak terkena cipratan lumpur. Di pinggir jalan sebuah tegalan, sebuah mobil pickup sedang parkir dan tiga orang saya lihat sedang memuat buah duku yang baru dipanen. Saya dan Budhi sempat ngobrol basa-basi dan mencoba mencicipi beberapa buah duku itu yang dipersilahkan oleh sang pemilik. Jeg calep san, alias tak sopan suka meminta makanan. Hehehe...

Di Jaba Pura Puseh Desa Pekraman Kedui

Setelah mencoba duku, perjalanan dilanjutkan lagi. Tak lama kemudian kami sudah menyusuri jalanan di Banjar Tegalasah. Saya kenal dengan nama banjar ini. Salah seorang teman kuliah saya di Bandung saya ingat berasal dari sini. Dulu, waktu sama-sama pulang liburan kuliah, saya dan beberapa teman sering diajak mampir. Kalau sekarang, saya tahu teman saya ini tinggal di Jakarta. Kalau saja ia ada, tentu saya akan dengan senang hati akan sengaja merepotkannya dengan mampir ke rumahnya.

Iseng Mencoba Buah Duku 
Dari Banjar Tegalasah ini, jalur perjalanan bersepeda saya ini mulai ramai. Rumah-rumah warga sudah berdekatan satu sama lain walaupun sesekali persawahan dan tegalan terhampar menghijau di perbatasan-perbatasan banjar atau desa. Beberapa anjing menggonggong melihat kami meluncur dan membunyikan bel sepeda. Sewajarnya di Bali, hampir di tiap rumah ada anjing. Jadi tak usah heran, pasti ada saja anjing yang menggonggong kami. Yang penting hati-hati. Walaupun tak ada satu pun anjing yang saya temui benar-benar galak, kalau ada yang menggigit tentu kemungkinan terkena rabies bisa mengancam. Bali memang selalu siaga rabies.

Dan akhirnya kami tiba di perempatan jalan di Desa Tembuku. Saya sudah mengenal tempat ini. Beberapa minggu sebelumnya saya sempat melintasi perempatan ini dari arah sebaliknya bersama teman-teman saya dari Klungkung. Belasan kilometer menyusuri jalan menurun ke arah selatan, kami sudah akan memasuki wilayah Kabupaten Klungkung, tepatnya di Kecamatan Banjarangkan. Pusat kota atau Desa Banjarangkan yang menjadi tujuan kami sebenarnya masih jauh di selatan. Tapi karena jalan yang memang akan terus menurun, kami menargetkan kurang lebih satu jam lagi akan tiba di titik finish itu.

Menyusuri Persawahan di Sekitar Desa Bumbungan, Banjarangkan
Desa Bumbungan adalah menjadi desa pertama yang dilalui ketika memasuki Klungkung. Kami tak melalui jalanan utama yang ramai. Di sebuah persimpangan jalan, kami berbelok ke barat lalu memasuki sebuah gang yang menuju areal persawahan dan tegalan lagi. Cukup menyenangkan juga melalui jalur tikus ini daripada harus melalui jalan utama. Beberapa kali jalur setapak di tegalan dan persawahan yang kami lalui ini tembus lagi ke jalan aspal utama, tapi kemudian kami masuk lagi ke jalur kecil ke dalam tegalan-tegalan penduduk. Sampai akhirnya kami benar-benar keluar ke jalan utama di sekitar perbatasan Desa Nyalian dan Desa Bakas. Dari sinilah, perjalanan akhirnya terus menyusuri jalan utama menuju pusat Banjarangkan. Menurun dan terus menurun, kami meluncur dengan cepat seperti mengendarai sepeda motor.

Lelah Bersepeda, Kaki dan Tangan Telah Dibasuh, Makan Siang Telah Disantap, Paling Nikmat Ditutup dengan Kopi dan Jaja Bali
Pukul dua siang lewat, kami pun sampai di rumah Wayan dan Ketut Kembar, markas Komunitas Sepeda Bali di Banjarangkan. Wayan Kembar bersama Alice dan Adrean ternyata juga baru tiba. Setelah membasuh tangan dan kaki, kami istirahat dan makan siang dengan lahap. Makan terasa begitu nikmat setelah tiga jam menempuh perjalanan bersepeda ini. Walaupun lelah, pikiran benar-benar segar. Berolahraga sambil melihat-lihat daerah di sekitar kita tinggal itu memang sangat menyenangkan. Menjelang sore, kami semua kembali pulang ke Ubud. []

Ubud, April 2016

Comments

Post a Comment